
Menikmati “Gyudon” setelah Sekian Lama
Beberapa hari yang lalu, saat sedang memikirkan apa yang akan saya makan untuk makan siang, tetiba terpikir, “saya ingin makan gyudon (semangkuk nasi dengan topping daging sapi)”.
Saya sudah lama tidak memakan “gyudon”, tetapi entah kenapa tiba-tiba sangat ingin menyantapnya saat itu.
Kebetulan waktu saya terbatas, dan “gyudon” yang dapat dimakan dengan cepat terasa seperti pilihan yang tepat.
Begitu keputusan dibuat, tanpa ragu saya langsung menuju “Yoshinoya”.
Saat memasuki restoran, saya melihat banyak orang duduk di kursi konter. Ada yang mengenakan jas seperti sedang bekerja, ada juga yang memakai pakaian kerja lapangan.
Suasana khas restoran gyudon ini terasa begitu akrab dan membawa nostalgia.
Saat “gyudon” yang dipesan sudah disajikan, penampilan dan aromanya langsung membangkitkan selera makan saya.
Daging sapi dan bawang bombay yang menyerap dalam saus manis gurih, disajikan di atas nasi putih yang pulen. Itu merupakan kombinasi yang sempurna.
Rasa “gyudon” yang sudah lama tidak saya makan ini ternyata lebih enak dari yang dibayangkan, bahkan terasa membawa kenangan masa lampau.
Saat selesai makan, perasaan puas menyelimuti diri saya.
Namun di saat yang sama, saya pun mulai bertanya-tanya: “Sejak kapan “gyudon” begitu mengakar dalam kehidupan orang Jepang?”

Jika menelusuri sejarah “gyudon”, maka kita akan kembali ke zaman Meiji.
Pada masa itu, seiring dengan modernisasi Jepang, muncul hidangan bernama “gyumeshi” yang menggunakan daging sapi, dan hidangan inilah yang dianggap sebagai cikal bakal dari “gyudon” yang kita kenal sekarang.
“Yoshinoya” merupakan pelopor dalam dunia “gyudon”, yang didirikan pada tahun 1899 (Tahun ke-32 era Meiji).
Dengan motto “Lezat, Murah, dan Cepat”, “Yoshinoya” berkembang pesat dan menyebar ke seluruh Jepang.
Pada hari ini pun, saya sepertinya hanya butuh sekitar 10 menit dari saat masuk ke restoran hingga selesai makan.
Setelah itu, muncul juga jaringan restoran “gyudon” lainnya seperti “Sukiya” dan “Matsuya” yang kemudian menjadi popular juga.
“Sukiya” dikenal dengan beragam variasi topping, seperti “gyudon” keju dan “gyudon kimchi” yang sangat populer.
Sementara itu, “Matsuya” memiliki ciri khas berupa penyajian sup miso sebagai pelengkap, serta rasa saus “gyudon”nya yang sedikit lebih kuat.
Melihat perbandingan ini, terlihat bahwa masing-masing restoran memiliki keunikannya sendiri, dan saya pun jadi berpikir, “Lain kali akan coba membandingkan rasa gyudon dari tempat lain juga”.
“Gyudon” memang hidangan yang sederhana, namun justru karena kesederhanaannya itulah yang tidak mudah membuat bosan memakannya.
Selain itu, kepraktisannya yang dapat langsung disantap kapan saja keinginan muncul adalah hal yang sangat menyenangkan.
Mungkin suatu hari nanti, saat tiba-tiba akan kembali merasa, “saya ingin makan gyudon”,
saya pasti akan kembali melangkah tanpa ragu ke dalam restoran “gyudon”.
Profile

-
Saya tinggal di KOTA PERDAMAIAN.
Kini setelah booming kegiatan di luar ruangan telah mereda,
Kita akan memasuki ledakan botani.















