
Menyeropot atau Tidak Menyeropot, Itulah poin yang perlu didikusikan
Ketika mendengar tentang “budaya menyeropot mie di Jepang”, hal pertama yang terlintas dalam pikiran saya adalah suara khasnya, “slurp..slurppp…slurpp…”. Suara tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari menyantap mie di Jepang. Konon, cita rasa mie akan semakin terasa lezat dengan menyeropotnya, sehingga aktivitas makan itu sendiri dianggap seperti sebuah seni. Selain itu, menyeropot mie juga mencegahnya cepat dingin, sehingga memungkinkan kita menikmati mie dalam keadaan masih panas. Sehingga alasan menyeropot mie tersebut cukup masuk di akal.
Namun, di negara-negara Barat, suara “slurp..slurppp…slurpp…” itu sama sekali tidak boleh keluar saat menyantap makanan. Jika seseorang mengeluarkan suara saat makan pasta di restoran, maka itu dianggap tidak sopan. Di sana, etika makan mengharuskan mulut tertutup dengan suara seminimal mungkin. Karena itu, pemandangan orang Jepang menyantap mie dengan sumpit sambil menyeropotnya dengan bersemangat mungkin terasa seperti sesuatu yang sangat asing bagi mereka.

Lalu, bagaimana dengan budaya menikmati mie di negara-negara Asia lainnya?. Di negara-negara Asia seperti China, Korea, dan Vietnam, meskipun ada budaya makan dengan sumpit, kebiasaan menyeropot mie tidak terlalu umum. Khususnya di China, sopan santunnya mengharuskan mie dimakan tanpa diseropot, melainkan dengan menggunakan sendok. Selanjutnya di Korea, karena menggunakan sumpit dan sendok berbahan logam, maka jarang sekali orang makan sambil menyeropot. Mangkuknya juga umumnya terbuat dari logam, sehingga tidak dipegang dengan tangan. Mie dan sup panas biasanya dimakan dengan sendok, sehingga cara menyantap mie dengan menyeropot dan menimbulkan suara memang tidak dilakukan.
Tetapi, saat menyantap mie cup instan atau makan di warung kaki lima, beberapa orang mungkin tetap sedikit menyeropotnya. Vietnam memiliki hidangan mie yang terbuat dari tepung beras, dikenal dengan “pho”, yang juga populer di Jepang. Meskipun orang Vietnam makan dengan sumpit, mereka tidak menyeropotnya saat menyantap mie panas seperti “pho”.
Ternyata di sana juga, menggunakan sendok dan makan tanpa menyeropot adalah bagian dari tata krama. Mereka tidak menempelkan mulut langsung ke mangkuk saat meminum kuahnya. Negara Asia lainnya yang memiliki budaya menggunakan sumpit adalah Mongolia, Thailand, dan Kamboja. Di negara-negara ini juga, menyeropot mie/makanan lainnya saat sedang makan dianggap tidak sopan.

Budaya “makan dengan cara diseropot” di Jepang memiliki beberapa latar belakang dan alasan historis tersendiri. Pertama, saat menyantap makanan panas, maka makanannya perlu didinginkan terlebih dahulu supaya lidah tidak terbakar. Sejak dahulu, di Jepang sudah terbiasa menggunakan mangkuk kayu dan menyantap makanan dengan mendekatkan mangkuk ke mulut. Gaya makan inilah yang diyakini secara alami melahirkan budaya makan dengan cara diseropot. Utamanya untuk mie panas atau makanan berkuah, menyeropotnya sambil menimbulkan suara telah menjadi cara yang lazim untuk meningkatkan kenikmatan rasa.
Di luar negeri, budaya mengangkat mangkuk langsung ke mulut seperti di Jepang tidak lazim dilakukan. Di negara-negara Barat, mangkuk terbuat dari logam atau keramik yang mudah menghantarkan panas, sehingga tidak dapat dipegang saat makan. Oleh karena itu, mereka lebih sering menggunakan pisau dan sendok. Selain itu, sup di Barat biasanya disajikan dengan suhu yang lebih rendah, sehingga dapat dinikmati tanpa perlu diseropot.
Sebagai kesimpulan, budaya makan dengan cara diseropot merupakan hal yang unik di Jepang dan dilatar belakangi oleh gaya makan dengan mengangkat mangkuk dan hanya menggunakan sumpit. Di negara lain, perbedaan alat makan dan budaya kulinernya membuat makanan dinikmati tanpa diseruput merupakan hal yang lumrah, sehingga kebiasaan makan dengan cara diseropot dapat dikatakan cukup langka.

Saya masih saat makan di restoran Italia kasual terkenal yang berlokasi didekat kampus pada saat masih menjadi mahasiswa. Kami bertiga duduk di meja bundar dan memesan beberapa menu pasta yang akan kami bagi. Ketika pesanan pasta kami sudah lengkap dan akan mulai menyantapnya, terjadilah sebuah insiden.
Teman yang duduk di depan saya tiba-tiba mulai menyeropot spaghetti dengan kencang, “slurpppppp!”, seolah sedang menikmati aroma soba atau cita rasa ramen. Suara seropotannya yang nyaring bergema di seluruh restoran Italia tersebut. Pada saat yang sama, duduk sekelompok orang yang sepertinya adalah pengajar dari luar negri, yang mengajar disekolah Bahasa Inggris dekat kampus kami, di meja bundar tepat di belakang teman saya itu, serentak menoleh ke arah kami. Seketika tubuh saya gemetar.
“Bukan saya! Saya tidak melakukannya!”, mata saya berusaha menyampaikan pesan tersebut. Tetapi teman di depan saya tetap acuh, serta terus menyeropot spaghetti dengan penuh semangat hingga masuk ke mulutnya. Mungkin saat itu dia belum mendapat kesempatan untuk belajar bahwa spaghetti harus dimakan tanpa bersuara. Tetapi saat itu, saya dapat memastikan bahwa teman saya itulah yang paling menikmati rasa dan aroma spaghetti tersebut dibandingkan siapapun.

Sudah puluhan tahun berlalu sejak kami lulus dari universitas Jepang, tetapi saya terkadang bertanya-tanya mengenai kebiasaan makan teman saya tersebut saat berada di luar negeri?.
Apakah dia masih tetap makan dengan cara yang sama, menyeropot mie dengan bersemangat tanpa peduli tatapan aneh dari orang asing di sekitarnya, persis seperti saat itu?. Saya sering membayangkannya sendiri.
Untuk para wisatawan asing yang berkunjung ke Jepang, silahkan menyeropot dengan suara nyaring dan penuh semangat saat menikmati mie di Jepang.
Seperti pepatah yang mengatakan bahwa “gou ni itte ha gouni shitagae” atau pepatah sejenis dalam Bahasa Indonesianya “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”.
Profile
- Lahir di Kamakura dan besar di Yokohama, dengan pengalaman tinggal di Inggris selama 6 tahun. Suka memodifikasi mobil, suka sepak bola, suka AKIRA, dan seorang ayah dari dua anak yang mendukung seorang aktris Korea. Motto sehari-harinya adalah "駑馬十駕(Meskipun seseorang kurang berbakat, dengan usaha keras dia dapat mengejar orang yang berbakat.)" dan penglihatannya adalah 2.0 dan 1.2 di mata kanan dan kiri. Klub sepak bola favoritnya adalah Liverpool dan ia mengagumi pemain seperti Eric Cantona dan Gattuso. Tinggal di daerah di luar 23 ku dari Tokyo, yang dikenal sebagai daerah pedesaan Tokyo.















